Sujud Terakhir Aylan

  • Selasa, 27 April 2021
  • 566 views
Sujud Terakhir Aylan

“A’thuna Tufulah, a’thuna tufulah, berikanlah masa kanak-kanak kami, biarkanlah kami sekolah, belajar dan bermain dengan tenang.”

Aylan adalah anak kecil berkebangsaan Suriah yang tampan; berambut hitam pirang, bermata biru dengan kulit bersih langsat khas anak-anak Syuriah.

Dia menjalani hidup dengan bahagia bersama saudaranya Ghalib yang berumur sekitar 5 tahun. Mereka setiap hari bermain dan bercanda, acap kali setiap Subuh menjelang Aylan dan Ghalib membangunkan ayahnya, Abdullah, terkadang Abdullah yang membangunkan mereka berdua di pagi hari ketika Abdullah kelelahan karena seharian mencari nafkah.

Aylan kecil mengira bahwa kehidupan akan berjalan dengan bahagia seperti yang selama ini dialaminya. Aylan belum mampu memahami apa itu desingan mesiu, ledakan ranjau darat, bom atau rudal yang diluncurkan pesawat tempur rezim Basyar Asad di atas wilayah Allepo dan Idlib yang mayoritas dihuni oleh kelompok anti Basyar al Asad.

Kota tempat Aylan tinggal adalah pemukiman warga Kurdi yang sebenarnya jauh dari konflik, akan tetapi pesawat tempur membombardir kotanya sampai dirinya merasa ketakutan, padahal Aylan tidak memiliki keterkaitan dengan konflik politik dan perebutan kekuasaan.

ISIS mulai memasuki wilayah Suriah dengan membunuh, membantai dan menakuti masyarakat awam. Kondisinya diperkeruh dengan datangnya milisi- milisi Syi’ah dari Irak Harokat al Nujab, milisi Syiah dari Libanon Hizbullah dan milisi Syiah Iran Kataeb Syahid Asyuhada juga memasuki Suriah untuk ikut berperang membantu asahr al-Asad atas nama madzhab atau sekte.

Keluarga kecil Aylan tidak mengerti, apa yang terjadi sebenarnya dan apa yang harus dilakukannya. Jika mereka bisa selamat dari serangan udara rezim Basyar Asad, belum tentu selamat dari kekejaman ISIS.

Jika selamat dari keduanya pun, bisa jadi akan jatuh kepada milisi-milisi Syi’ah yang melakukan aksi pembunuhan dan pembantaian di berbagai tempat di Suriah dan Irak atas nama madzhab dan sekte.

Mulai muncul rasa takut dalam hati Aylan kecil, senyumnya mulai hilang dari bibirnya, bahkan kebingungan mulai nampak pada wajahnya yang polos tidak berdosa itu. Rasa takut yang dirasakan kedua orang tuanya mulai Aylan rasakan juga.

Di tengah deru konflik yang tiada henti, Abdullah, mulai berfikir untuk pergi ke Kanada seperti yang dilakukan oleh saudarinya dengan mencari hutang kesana kemari untuk pengurusan visa sebesar 20.000 USD kepada pemerintah Kanada, akan tetapi pengajuan visa Abdullah ditolak setelah dua kali mengajukan permohonan.

Tidak ada yang salah dari penolakan Kanada terhadap para pengungsi, karena semua negara Arab yang konon se-akidah dengan mereka pun menolak menerima mereka. Begitu juga negara Eropa juga tidak bersalah, karena negara Arab hanya mendirikan tenda pengungsi dan bukan rumah yang permanen. Dan bukan salah negara asing, jika kemudian mereka meminta para pengungsi untuk pergi ke tempat yang lain.

Aylan dan keluarganya tidak mendapatkan tempat yang aman di negerinya sendiri atau di negeri-negeri Arab lainnya. Sebelum Anda orang-orang Islam menyalahkan negara-negara Barat, Anda hendaklah introspeksi diri dan salahkanlah diri kita sendiri dan juga negara-negara Arab.

Tidakkah Anda malu ketika Anda membaca pemberitaan media bahwa tim Sepak Bola Real Madrid yang pemiliknya bukan orang muslim menyumbangkan 1 juta USD kepada para imigran Suriah, sedangkan negara-negara Arab hanya memberikan mereka perkemahan, selimut dan makanan karena mereka mengira para pengungsi Suriah adalah anggota ISIS dengan menjeneralisir mereka yang merupakan tabiat bangsa Arab dalam menghukum sebuah keluarga sampai keturunan dan anak-anaknya serta bangsanya.

Tidak ada jalan bagi keluarga kecil Aylan untuk keluar dari konflik dan peperangan kecuali menggunakan kapal kecil yang ditumpangi oleh banyak orang di laut yang luas. Ayahnya, Abdullah sebenarnya melihat jumlah penumpang sudah terlalu penuh, akan tetapi penumpang terakhir mengatakan “Jangan takut wahai Abdullah, tenanglah.” Akhirnya, Abdullah dan keluarganya tetap ikut naik perahu.

Memang tabiat orang Arab sebelum terjadi kecelakaan selalu mengatakan “Tenanglah, kami sudah naik berkali-kali akan tetapi tidak terjadi kecelakaan”, yang umumnya dikatakan sebelum kereta atau bus berjalan kencang.

Pihak yang bertanggung jawab pun selalu mengatakan “Kondisinya aman terkendali.” Inilah kebiasaan bangsa Arab yang tidak dapat bekerja dan tidak dapat mengatur sesuatu dengan baik, bahkan tidak mengevaluasi dirinya dengan selalu memberikan ketenangan yang dusta.

Perahu pun berlabuh, di tengah laut, ombak menerjang mengombang-ambingkan perahu yang dinaiki keluarga Aylan, air menyembur memasuki perahu dan membasahi para penumpang, teriakan takbir dan tahlil membahana. Sementara Aylan dan Ghalib menangis ketakutan dalam pelukan Abdullah hingga akhirnya perahu yang kelebihan penumpang itu terbalik.

Semua penumpang yang ada di dalam perahu tumpah ke dalam lautan lepas dengan ombak besar yang menggulung-gulung. Abdullah sambil menangis berusaha memegangi Aylan, Ghalib dan istrinya Raihan, akan tetapi tenaganya tidak berdaya untuk menyelamatkan keluarganya. Satu persatu anggota keluarganya meregang nyawa tiga jam sesudah perahu terbalik.

Bibir Aylan membiru kedinginan, perutnya penuh dengan air, matanya terbeliak seiring tubuh kecil itu meregang nyawa. Aylan menghembuskan nafas terakhir, terseret ombak di lautan lepas, kemudian disusul Ghalib dan ibu mereka Raihan yang awalnya tidak ditemukan jasad mereka, karena terhempas ombak. Seorang kamerawati dari salah satu media Turki menemukan jenazah Aylan di salah satu pantai pariwisata dalam kondisi seperti bersujud di tepi pantai, hanya mengenakan pakaian dan sepatunya.

Aylan kembali ke tempat asalnya dengan tenang setelah berjuang untuk mencari keamanan dan kedamaian dengan melawan ombak di lautan lepas. Innalillahi wa inna ilahi rojiun, selamat tinggal Aylan, selamat jalan anakku, maafkanlah kami yang tidak bisa memberikan rasa aman dalam kehidupanmu.

Aylan meninggalkan masa kecilnya yang indah karena dosa-dosa rezim-rezim negara-negara Arab yang tidak meneteskan air mata atas nasib jutaan pengungsi dari Suriah. Perginya Aylan, keluarga dan penderitaan jutaan masyarakat Suriah juga merupakan dosa ISIS, Front Jabal Al Nushra, Al- Qaeda, milisi-milisi Syi’ah dan seluruh pihak yang beperang di Suriah, yang sama sekali tidak mempunyai hati menyikapi peristiwa serupa yang sejak lama telah mengharukan ini, walaupun mereka adalah penyebab utama konflik dan perang yang terjadi.

Wahai Aylan, hembusan nafas terakhirmu telah membuka kelemahan dan kemunafikan kami. Engkaulah yang menunjukkan penyakit yang ada dalam tubuh kami yang senang berkonfrontasi, senang bertikai, bahkan sebagian kami senang berperang sesama saudara kami sendiri karena kebodohan, egoisme, dan fanatisme kami. Kami tidak tahu betapa mahal dan berharganya rasa aman dalam kehidupan ini. Betapa mahal dan tiada ternilainya perdamaian itu. Engkau, Aylan berusaha mencari keamanan dan perdamaian dengan segala cara bahkan engkau berani menaiki perahu kecil dengan penumpang penuh dan menerjang angin badai.

Wahai Aylan, kami semuanya takut akan sujud terakhirmu di atas pasir di tepian laut itu. Sujud seorang hamba Allah yang bersih dari lumuran dosa, tidak seperti kami yang egois; mementingkan kepentingan kelompok, partai dan organisasi kami semata. Jangan menangis wahai Aylan, engkau telah meninggalkan dunia yang fana ini. Kami berjanji untuk memberikan masa depan yang indah untuk anak-anak kami dan untuk masa depan bangsa kami. A’thuna Tufulah, a’thuna tufulah, berikanlah masa kanak-kanak kami, biarkanlah kami sekolah, belajar dan bermain dengan tenang. Begitu pintamu dengan tangis dan derai air mata sebelum engkau pergi selama-lamanya. *

Penulis: Mujahidin Nur

Mujahidin Nur adalah CEO PT Bumi Semesta Media dan Melvana Media Indonesia, direktur The Islah Centre, Anggota INFOKOM MUI, sekarang berdomisili di Jakarta